SELAMAT DATANG

SEMOGA ADA MANFAAT

Selasa, 02 November 2010

Seudati, Tarian Pahlawan

SEUDATI, berasa dari satu kata syahadati atau “syahadatain’’, yang artinya dua kalimah syahadah/Aceh : Syahdat (Asyhadualla Ilahaillallah wa Asyhaduanna Muhammadar Rasallullah). Benarkah demikian?. Hal ini perlu penelitian lebih lanjut! Ini menunjukkan bahwa tarian Seudati berasal dari kesenian dakwah pada mulanya. Tapi setelah berkembang, akhirnya seudati menjadi tarian hiburan yang sangat di senangi masayarakat Aceh tempoe dulu!. Kesenangan masyarakat Aceh masa lampau menonton Seudati, tidak kalah tangguhnya, seperti masyarakat Jawa--tempo dulu--nonton wayang atau ketoprak. Sampai pagi pun mata tetap melek terus.

Sebuah Hadih Maja (pepatah Aceh) menyebutkan: ”Kuleumbu mirah panyot kawi, peunajoh timphan piasan Seudati (Kelambu merah lampu tanah kawi, makanan timphan, hiburan Seudati!).

Anekdot lain yang menunjukkan batapa populernya tarian seudati dikalangan masyarakat Aceh;. pernah diceritakan orang begini: Di suatu petang seorang istri mengajak suaminya nonton Seudati yang diadakan di sebuah kampung pada malam hari. Karena sang suami kebetulan hari itu kanker (kantong kering), ia menolak ajakan si istri.

Mertua pun kadang ikut campur!. Akibat sudah jengkel, sang mertua langsung mengajari putrinya:” Tika bek kaleueng panyot bek katot, bah jiduek lam seupot agam ceulaka!”(tikar jangan digelar, lampu tak usah dinyalakan, biar dalam kelam lelaki celaka!). Sambil menggulung kembali tikar yang terlanjur sudah digelar, si isteri lalu meupansie/berceloteh: ”meubuleuen-buleeun neupojoh gaji, meupeng sitali han ek neupeuna?!!( Berbulan-bulan Abang makan gaji, uang setali mungkin nggak ada). Disaat demikian; kalau salah-salah meladeni sang isteri, terutama yang pengantin baru, hubungan rumah tangga bisa retak karena keinginan nonton seudati tidak terpenuhi.

Sebelum tahun 40-an, tarian seudati pernah menjadi tarian kebanggaan sang penguasa. Setiap Uleebalang mempunyai grup seudati masing-masing. Mereka, bahkan bersaing untuk memiliki pemain-pemain seudati yang handal. Untuk itu pihak penguasa tidak segan-segan mengeluarkan uang beratus-ratus Ringget Aceh waktu itu.

Karena kemasyhuran suatu grup seudati, sangat tergantung kepada ketangkasan Aneuk Seudati (anak seudati), maka usaha mendapatkan Aneuk Seudati yang betul-betul memenuhi syarat, bisa membuat para pengiring Uleebalang pusing tujuh keliling. Orang tua yang memiliki anak yang memenuhi syarat sebagai pemain seudati, sering dibujuk untuk merelakan anaknya main seudati. Bila gagal dengan bujukan, sampai-sampai anak itu diculik dan disembunyikan dalam menjalani latihan seudati. Menghadapi hal demikian, para orangtua juga pasang ancang-ancang.

Di antaranya, si anak dikirim ke tempat saudaranya yang jauh atau diantar anaknya ke dayah/pesantren yang Teungkunya disegani oleh Uleebalang. Keengganan orangtua ini disebabkan beberapa hal. Sebagian orang menganggap tarian seudati itu tidak dibenarkan Islam. Tapi bila kita simak penuturan para sesepuh yang masih hidup,keberatan itu dikarenakan latihan-pelajaran main Seudati cukup berat bagi anak-anak.

Misalnya, anak-anak itu diseumpom lam kulam(dicemplungkan ke kolam) pada tengah malam agar badannya bisa dilenturkan sewaktu bermain . Pantangan makan jenis makanan tertentu juga amat ketat. Biasanya, dari keluarga-keluarga miskin dan janda sajalah mudah diperoleh anak-anak calon pemain seudati. Sekaligus para orangtua mereka lantas menjadi “orang dalam” di komplek Uleebalang itu.

Seudati menonjolkan tarian bersemangat dalam keserasian geraknya. Bagi orang yang baru pertama kali menonton Seudati; mungkin jantungnya ‘dag dig dug’, karena menyaksikan gerakan para pemain terus-menerus selang-seling pindah posisi . “Tidakkah mereka bertubrukan sesamanya?”, begitu desah hati penonton pertama kali ini. Menyaksikan tingkah laku gerakan, tarian Seudati dapat disebut Tarian Perang atau Tarian Pahlawan. Dengan menepuk dada dan petik jari(keutrep jaroe), mereka menggambarkan bagaimana ketangkasan serta keberanian putra-putri Aceh ketika melawan serdadu Portugis -Belanda tempo dulu.

“Na katuri kee, meunye beuhe tajo keunoe(Inilah aku, kenalkah kamu?, kalau berani terus maju!). Itulah gambaran keberanian, yang tersirat ketika pemain menepuk dada(peh dada) secara serentak. Gema dari peh dada, keutrep jaroe(petik jari) dan hentakan kaki dilantai pentas/panggung, membikin suasana tarian Seudati riuh-rendah bersemangat. Menyebabkan mata si penonton terbelalak sepanjang malam.

Para pemain tarian seudati terdiri dari: 1 orang pemimpin yang di sebut “Syekh”, 1 orang pembantu kanan Syekh, 1 orang pembantu kiri;keduanya di sebut “Apit Syekh” , 4 orang pemain yang mengiringinya, dan 2 orang Aneuk Seudati (anak Seudati). Dari kata-kata panggilan sesama pemain, dapat disimpulkan, bahwa tarian Seudati merupakan lukisan kehidupan sebuah keluarga dari masyarakat Aceh, yang sering menghadapi banyak tantangan. Walaupun banyak rintangan anggota keluarga tidak pernah putus asa, jalan pemecahan problema tetap dicari.

Anggota pemain menyebut syekh (pimpinan) sebagai ayah, dua anak seudati memanggil pemain lainnya sebagai aduen (abang), sebaliknya keduanya di sebut adoe (adik). “pakriban keu lon aduen e, hom hai adoe boh hate, wate lon pike hanco lam dada”. “Bak pi-e tan peng didalam jaroe, supot lam nanggroe peungeuh lam rimbah” (bagaimana nasib saya hai abangku, aku nggak tahu wahai adinda, kalau terus kupikirkan luluh rasanya hati kakanda. Akibat tak punya uang di tangan , gelap dalam negeri terang dalam rimba).

Bermacam jenis lagu serta irama dapat di bawakan dalam tarian Seudati , baik dalam bahasa Aceh,bahasa Indonesia dan India. Demikian pula iramanya, sejak irama dangdut, keroncong, padang pasir atau hindustan. Kisah dari lagu-lagu tersebut juga bervariasi. Baik tentang perobahan zaman, mendorong rakyat membangun, lukisan keindahan alam, kehidupan rakyat, mengkritik pemimpin yang tidak becus dan sebagainya. Kemerduan suara pemain menentukan daya tarik bagi lagu-lagu yang disenandungkan.

Tarian Seudati diadakan pada malam hari. Yang di tampilkan paling kurang dua group Seudati sekali pertunjukan. Antara kelompok itu diadakan pertandingan (Seudati tunang). Permainannya ditampilkan cara giliran. Kemenangan ditentukan atas kesanggupan menangkis serangan atau tuduhan yang dilontarkan pihak lawan. Ketika ternyata, hantaman balasan tepat sekali ataupun konyol; tepuk tangan penonton gemuruh.

Dulu banyak kampung di Aceh yang punya group seudati . Seluruh rakyat kampung, secera langsung jadi anggota tarian itu. Sedang dewan yang melindungi lembaga Seudati, terdiri semua tokoh desa, yang digelar “tuha seudati “ (tetua seudati). Tidak heran, kalau dulu di Aceh banyak sekali Umong Seudati (sawah seudati), yang hasilnya digunakan untuk modal mengembangkan tarian ini. Petak sawah tersebut biasanya sumbangna dari Uleebalang (penguasa) atau hadiah orang kaya yang “fanatik” seudati.

Sekitar akhir tahun 60-an dan dan awal tahun 70-an, beberapa group seudati cukup terkanal di Aceh. Kepopulerannya bukan hanya di daerah, bahklan pernah dipertunjukkan di Jakarta(Istana Merdeka) dan luar negeri. Diantara sekian banyak Group Seudati itu seperti: Seudati Syeh Ampon Ma’e, Syekh Lah Bangguna, Syekh Lah Geunta, Syekh Rasyid Bireuen (Kesemuanya dari kabupaten Aceh Utara/Bireuen). Sedang dari kabupaten Pidie, yang juga terkenal di daerah sekitarnya, yaitu Seudati Syekh Dawod Tongpudeng dan Seudati Syekh Maun Kunyet, (Padang Tiji).

Kenyataannya sekarang, semua group Seudati yang pernah melangit namanya itu; kini telah lenyap dari peredaran. Jangankan kita lihat mereka bermain; terdengar beritanya pun tidak. Inilah nasib kesenian Aceh, yang kurang perhatian dari berbagai pihak, terutama Pemerintah Aceh!!!.( T.A. Sakti).

2 komentar: