SELAMAT DATANG

SEMOGA ADA MANFAAT

Rabu, 10 November 2010

Adat Pernikahan Masyarakat Aceh

Seperti halnya di daerah-daerah lain di Indonesia yang mempunyai banyak tahapan sebelum seseorang benar-benar resmi menjadi suami istri maka di Aceh pun demikian pula adanya. Sebelum mempelai resmi menjadi suami istri haruslah terlebih dahulu melewati beberapa prosesi adat yang lumayan panjang. Apa saja prosesi adatnya. Prosesi adat pernikahan di Aceh ini dibagi dalam beberapa tahapan yang kesemuanya wajib dilalui oleh kedua mempelai. Ini dia tahapan-tahapan dalam pernikahan adat Aceh..

1. Tahap Melamar (Ba Ranup)

Ba Ranup atau tahapan melamar ini sendiri di Aceh di atur dengan adat yang lumayan panjang yakni terlebih dahulu jika seorang lelaki yang dinilai sudah cukup dewasa sudah saatnya berumah tangga maka untuk mencarikan jodoh bagi si lelaki tersebut atau jika seorang lelaki memiliki pilihan sendiri terhadap seorang perempuan untuk menjadi istrinya maka hal pertama yang harus dilakukan adalah mengutus kerabat yang dituakan dan dianggap cakap dalam berbicara (disebut sebagai theulangke) untuk menemui keluarga sang perempuan untuk menanyakan status sang perempuan apakah yang bersangkutan ada yang punya atau tidak. Jika ternyata yang bersangkutan belum ada yang punya dan tidak ada ikatan apapun dengan orang lain maka barulah theulangke mengutarakan lamarannya.

Pada hari yang telah ditentukan kedua belah pihak kemudian pihak keluarga laki-laki mengutus beberapa orang yang dituakan untuk datang ke rumah orang tua pihak perempuan untuk melamar secara resmi dengan membawa sirih dan isinya sebagai simbol penguat ikatan dan kesungguhan. Setelah acara lamaran selesai dan rombongan pelamar telah pulang maka barulah kemudian keluarga yang dilamar yaitu keluarga sang perempuan bermusyawarh dengan anak gadisnya mengenai diterima atau tidaknya lamaran tersebut.

2. Tahap Pertunangan (Jak ba Tanda)

Jika kemudian lamaran tersebut diterima oleh pihak perempuan maka prosesi selanjutnya adalah keluarga pihak laki-laki akan datang kembali ke rumah orang tua sang perempuan untuk membicarakan hari perkawinannya (disebut peukeong haba) sekaligus juga menetapkan seberapa besar mahar yang diinginkan oleh sang calon mempelai perempuan (disebut jeunamee) dan seberapa banyak tamu yang akan diundang dalam resepsi tersebut.

Pada acara yang sama setelah semua musyawarah tentang besarnya mahar, hari perkawinan dan banyaknya tamu yang nanti akan diundang yang dilakukan oleh keluarga kedua calon mempelai mencapai kata sepakat, barulah kemudian dilanjutkan dengan acara berikutnya yakni acara pertunangan atau yang disebut dengan Jakba Tanda. Dalam acara ini pihak calon mempelai laki-laki akan mengantarkan berbagai makanan khas daerah Aceh dan juga barang-barang lainnya, yang diantaranya buleukat kuneeng dengan tumphou, aneka buah-buahan, seperangkat pakaian wanita dan perhiasan yang disesuaikan dengan kemampuan keluarga pria.

Tapi karena ada kalanya meski kedua pihak telah sampai pada tahap pertunangan perkawinan itu batal karena berbagai hal maka ‘aturan main’ dalam pertunangan ini jika ternyata pada akhirnya kedua belah pihak gagal bersanding di pelaminan maka tanda emas yang telah diberikan itu jika yang menyebabkan gagalnya perkawinan (tak jadi menikah) adalah calon mempelai pria maka tanda emas itu akan dianggap hangus tapi jika ternyata penyebabnya adalah calon mempelai wanita maka tanda emas itu harus diganti sebesar dua kali lipat.

3. Pesta Pelaminan

Setelah semua tahapan dapat dilalui maka barulah kemudian acara inti pun digelar yaitu pesta perkawinan itu sendiri. Dua prosesi lain dalam adat perkawinan masyarakat Aceh yang juga tak kalah pentingnya yaitu tueng dara baru yang berarti penjemputan secara adat yang dilakukan pihak pengantin laki-laki terhadap pihak pengantin perempuan dan tueng linto baroe yang bermakna sebaliknya. Setelah kedua mempelai melakukan akad nikah dihadapan pak kadi dan telah resmi menjadi sepasang suami istri, pesta pun digelar untuk memberi kesempatan kepada seluruh tamu undangan yang ingin mengucapkan selamat kepada kedua mempelai.
****

Selasa, 02 November 2010

Seudati, Tarian Pahlawan

SEUDATI, berasa dari satu kata syahadati atau “syahadatain’’, yang artinya dua kalimah syahadah/Aceh : Syahdat (Asyhadualla Ilahaillallah wa Asyhaduanna Muhammadar Rasallullah). Benarkah demikian?. Hal ini perlu penelitian lebih lanjut! Ini menunjukkan bahwa tarian Seudati berasal dari kesenian dakwah pada mulanya. Tapi setelah berkembang, akhirnya seudati menjadi tarian hiburan yang sangat di senangi masayarakat Aceh tempoe dulu!. Kesenangan masyarakat Aceh masa lampau menonton Seudati, tidak kalah tangguhnya, seperti masyarakat Jawa--tempo dulu--nonton wayang atau ketoprak. Sampai pagi pun mata tetap melek terus.

Sebuah Hadih Maja (pepatah Aceh) menyebutkan: ”Kuleumbu mirah panyot kawi, peunajoh timphan piasan Seudati (Kelambu merah lampu tanah kawi, makanan timphan, hiburan Seudati!).

Anekdot lain yang menunjukkan batapa populernya tarian seudati dikalangan masyarakat Aceh;. pernah diceritakan orang begini: Di suatu petang seorang istri mengajak suaminya nonton Seudati yang diadakan di sebuah kampung pada malam hari. Karena sang suami kebetulan hari itu kanker (kantong kering), ia menolak ajakan si istri.

Mertua pun kadang ikut campur!. Akibat sudah jengkel, sang mertua langsung mengajari putrinya:” Tika bek kaleueng panyot bek katot, bah jiduek lam seupot agam ceulaka!”(tikar jangan digelar, lampu tak usah dinyalakan, biar dalam kelam lelaki celaka!). Sambil menggulung kembali tikar yang terlanjur sudah digelar, si isteri lalu meupansie/berceloteh: ”meubuleuen-buleeun neupojoh gaji, meupeng sitali han ek neupeuna?!!( Berbulan-bulan Abang makan gaji, uang setali mungkin nggak ada). Disaat demikian; kalau salah-salah meladeni sang isteri, terutama yang pengantin baru, hubungan rumah tangga bisa retak karena keinginan nonton seudati tidak terpenuhi.

Sebelum tahun 40-an, tarian seudati pernah menjadi tarian kebanggaan sang penguasa. Setiap Uleebalang mempunyai grup seudati masing-masing. Mereka, bahkan bersaing untuk memiliki pemain-pemain seudati yang handal. Untuk itu pihak penguasa tidak segan-segan mengeluarkan uang beratus-ratus Ringget Aceh waktu itu.

Karena kemasyhuran suatu grup seudati, sangat tergantung kepada ketangkasan Aneuk Seudati (anak seudati), maka usaha mendapatkan Aneuk Seudati yang betul-betul memenuhi syarat, bisa membuat para pengiring Uleebalang pusing tujuh keliling. Orang tua yang memiliki anak yang memenuhi syarat sebagai pemain seudati, sering dibujuk untuk merelakan anaknya main seudati. Bila gagal dengan bujukan, sampai-sampai anak itu diculik dan disembunyikan dalam menjalani latihan seudati. Menghadapi hal demikian, para orangtua juga pasang ancang-ancang.

Di antaranya, si anak dikirim ke tempat saudaranya yang jauh atau diantar anaknya ke dayah/pesantren yang Teungkunya disegani oleh Uleebalang. Keengganan orangtua ini disebabkan beberapa hal. Sebagian orang menganggap tarian seudati itu tidak dibenarkan Islam. Tapi bila kita simak penuturan para sesepuh yang masih hidup,keberatan itu dikarenakan latihan-pelajaran main Seudati cukup berat bagi anak-anak.

Misalnya, anak-anak itu diseumpom lam kulam(dicemplungkan ke kolam) pada tengah malam agar badannya bisa dilenturkan sewaktu bermain . Pantangan makan jenis makanan tertentu juga amat ketat. Biasanya, dari keluarga-keluarga miskin dan janda sajalah mudah diperoleh anak-anak calon pemain seudati. Sekaligus para orangtua mereka lantas menjadi “orang dalam” di komplek Uleebalang itu.

Seudati menonjolkan tarian bersemangat dalam keserasian geraknya. Bagi orang yang baru pertama kali menonton Seudati; mungkin jantungnya ‘dag dig dug’, karena menyaksikan gerakan para pemain terus-menerus selang-seling pindah posisi . “Tidakkah mereka bertubrukan sesamanya?”, begitu desah hati penonton pertama kali ini. Menyaksikan tingkah laku gerakan, tarian Seudati dapat disebut Tarian Perang atau Tarian Pahlawan. Dengan menepuk dada dan petik jari(keutrep jaroe), mereka menggambarkan bagaimana ketangkasan serta keberanian putra-putri Aceh ketika melawan serdadu Portugis -Belanda tempo dulu.

“Na katuri kee, meunye beuhe tajo keunoe(Inilah aku, kenalkah kamu?, kalau berani terus maju!). Itulah gambaran keberanian, yang tersirat ketika pemain menepuk dada(peh dada) secara serentak. Gema dari peh dada, keutrep jaroe(petik jari) dan hentakan kaki dilantai pentas/panggung, membikin suasana tarian Seudati riuh-rendah bersemangat. Menyebabkan mata si penonton terbelalak sepanjang malam.

Para pemain tarian seudati terdiri dari: 1 orang pemimpin yang di sebut “Syekh”, 1 orang pembantu kanan Syekh, 1 orang pembantu kiri;keduanya di sebut “Apit Syekh” , 4 orang pemain yang mengiringinya, dan 2 orang Aneuk Seudati (anak Seudati). Dari kata-kata panggilan sesama pemain, dapat disimpulkan, bahwa tarian Seudati merupakan lukisan kehidupan sebuah keluarga dari masyarakat Aceh, yang sering menghadapi banyak tantangan. Walaupun banyak rintangan anggota keluarga tidak pernah putus asa, jalan pemecahan problema tetap dicari.

Anggota pemain menyebut syekh (pimpinan) sebagai ayah, dua anak seudati memanggil pemain lainnya sebagai aduen (abang), sebaliknya keduanya di sebut adoe (adik). “pakriban keu lon aduen e, hom hai adoe boh hate, wate lon pike hanco lam dada”. “Bak pi-e tan peng didalam jaroe, supot lam nanggroe peungeuh lam rimbah” (bagaimana nasib saya hai abangku, aku nggak tahu wahai adinda, kalau terus kupikirkan luluh rasanya hati kakanda. Akibat tak punya uang di tangan , gelap dalam negeri terang dalam rimba).

Bermacam jenis lagu serta irama dapat di bawakan dalam tarian Seudati , baik dalam bahasa Aceh,bahasa Indonesia dan India. Demikian pula iramanya, sejak irama dangdut, keroncong, padang pasir atau hindustan. Kisah dari lagu-lagu tersebut juga bervariasi. Baik tentang perobahan zaman, mendorong rakyat membangun, lukisan keindahan alam, kehidupan rakyat, mengkritik pemimpin yang tidak becus dan sebagainya. Kemerduan suara pemain menentukan daya tarik bagi lagu-lagu yang disenandungkan.

Tarian Seudati diadakan pada malam hari. Yang di tampilkan paling kurang dua group Seudati sekali pertunjukan. Antara kelompok itu diadakan pertandingan (Seudati tunang). Permainannya ditampilkan cara giliran. Kemenangan ditentukan atas kesanggupan menangkis serangan atau tuduhan yang dilontarkan pihak lawan. Ketika ternyata, hantaman balasan tepat sekali ataupun konyol; tepuk tangan penonton gemuruh.

Dulu banyak kampung di Aceh yang punya group seudati . Seluruh rakyat kampung, secera langsung jadi anggota tarian itu. Sedang dewan yang melindungi lembaga Seudati, terdiri semua tokoh desa, yang digelar “tuha seudati “ (tetua seudati). Tidak heran, kalau dulu di Aceh banyak sekali Umong Seudati (sawah seudati), yang hasilnya digunakan untuk modal mengembangkan tarian ini. Petak sawah tersebut biasanya sumbangna dari Uleebalang (penguasa) atau hadiah orang kaya yang “fanatik” seudati.

Sekitar akhir tahun 60-an dan dan awal tahun 70-an, beberapa group seudati cukup terkanal di Aceh. Kepopulerannya bukan hanya di daerah, bahklan pernah dipertunjukkan di Jakarta(Istana Merdeka) dan luar negeri. Diantara sekian banyak Group Seudati itu seperti: Seudati Syeh Ampon Ma’e, Syekh Lah Bangguna, Syekh Lah Geunta, Syekh Rasyid Bireuen (Kesemuanya dari kabupaten Aceh Utara/Bireuen). Sedang dari kabupaten Pidie, yang juga terkenal di daerah sekitarnya, yaitu Seudati Syekh Dawod Tongpudeng dan Seudati Syekh Maun Kunyet, (Padang Tiji).

Kenyataannya sekarang, semua group Seudati yang pernah melangit namanya itu; kini telah lenyap dari peredaran. Jangankan kita lihat mereka bermain; terdengar beritanya pun tidak. Inilah nasib kesenian Aceh, yang kurang perhatian dari berbagai pihak, terutama Pemerintah Aceh!!!.( T.A. Sakti).

Tari Laweut


Tari Laweut adalah tari yang berasal dari Aceh. Laweut berasal dari kata Selawat, sanjungan yang ditujukan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. Sebelum sebutan laweut dipakai, pertama sekali disebut Akoon (Seudati Inong). Laweut ditetapkan namanya pada Pekan Kebudayaan Aceh II (PKA II). Tarian ini berasal dari Pidie dan telah berkembang di seluruh Aceh.

Gerak tari ini, yaitu penari dari arah kiri atas dan kanan atas dengan jalan gerakan barisan memasuki pentas dan langsung membuat komposisi berbanjar satu, menghadap penonton, memberi salam hormat dengan mengangkat kedua belah tangan sebatas dada, kemudian mulai melakukan gerakan-gerakan tarian.



Referensi
Badan Arsip Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam





Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Tari_Laweut"

Kategori: Tari di Indonesia
Tarian dari Aceh
Tarian Suku Aceh

Kategori tersembunyi: Rintisan bertopik tarian di Indonesia

Tari Seudati

Tari Seudati di Samalanga, Bireuen (1907)Tari Seudati adalah nama tarian yang berasal dari provinsi Aceh. Seudati berasal dari kata Syahadat, yang berarti saksi/bersaksi/pengakuan terhadap Tiada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad utusan Allah.

Tarian ini juga termasuk kategori Tribal War Dance atau Tari Perang, yang mana syairnya selalu membangkitkan semangat pemuda Aceh untuk bangkit dan melawan penjajahan. Oleh sebab itu tarian ini sempat dilarang pada zaman penjajahan Belanda, tetapi sekarang tarian ini diperbolehkan kembali dan menjadi Kesenian Nasional Indonesia.