Menunaikan Haji adalah panggilan Allah SWT. Panggilan yang membutuhkan sambutan dari hamba-Nya. Tak perduli latar belakang manusia, kaya-miskin, orang biasa-ustadz, pejabat-rakyat, pintar-bodoh, Arab-non Arab, Islam dari lahir atau muallaf, semua itu bergantung pada kesungguhan niat, ketulusan dan menyambut panggilan Allah dengan segera dan upaya sungguh-sungguh.
Kesungguhan niat adalah bagian penting, misal orang yang memang sudah kaya dan memiliki kemampuan, tanpa ada kesungguhan, maka akan menunda-nunda dan tak jadi berangkat. Alasan dan jawaban yang sering muncul adalah belum mendapat panggilan Allah SWT. Yah, panggilan Allah yang merasuk dalam jiwanya.
Padahal panggilan Allah akan masuk ke dalam jiwa ketika manusia menyambutnya, sementara alasan biaya bagi si orang kaya sudah tidak menjadi masalah.
Di sisi lain, ketulusan dan keikhlasan menyambut panggilan Allah juga menjadi bagian penting. Tak sedikit orang miskin, tak mampu, namun tiba-tiba ia langsung mendapat panggilan Allah menunaikan Haji. Secara lahiriyah, peristiwa ini sulit dicerna akal. Maka, inilah yang dinamakan panggilan Allah.
Sangat mungkin, kesungguhan, ketulusan, kesalehan dan kesabaran seseorang langsung ditunjukkan Allah dengan memberangkatkan haji dari pintu yang juga tidak diduga-duga.
Jadi, mampu dan tidak mampu sama-sama belum menjadi jaminan panggilan haji seseorang. Yang menentukan adalah kesungguhan, ketulusan dan kesabaran yang akan mengantarkan pada panggilan jiwanya.
Pada suatu masa, Abdullah bin Mubarak berangkat haji bersama kafilah Haji, ia melewati berbagai daerah hingga ayam yang mereka bawa ada yang mati. Abdullah bin Mubarak lalu menyuruh seseorang untuk melemparkannya ke tempat sampah. Setelah dilempar, tiba-tiba datanglah seorang perempuan mengambil ayam yang mati tersebut. Abdullah bin Mubarak terheran dan menanyakan alasan kenapa ia sudi mengambil bangkai tersebut.
Sang perempuan ini menceritakan bahwa mereka melakukannya dengan sangat terpaksa karena mereka tidak mendapatkan makanan sejak beberapa hari. Mendengar penjelasan perempuan ini, Abdullah bin Mubarak memberikan biaya hajinya lalu ia kembali ke kampungnya. Ia mengatakan, ''Ini lebih baik daripada haji kita tahun ini.'' (dari kitab Hilyatul Auliya). Demikianlah para ulama terdahulu, mereka sangat berusaha mencari amalan yang paling besar pahalanya dan paling dicintai Allah SWT. Bagi mereka memberi makan orang kelaparan adalah sebuah kewajiban, sedangkan melaksanakan ibadah haji yang kedua dan seterusnya adalah sunah. Sehingga, mereka mengedepankan hal yang lebih utama daripada hal yang penting.
Membantu orang miskin juga termasuk jihad di jalan Allah, betapa banyak orang-orang miskin yang tidak menerima uluran tangan kemudian masuk ke agama lain yang lebih menggiurkan dan menjanjikan. Jihad di jalan Allah ini lebih utama daripada haji setiap tahunnya. Allah menyindir hal ini dengan firman-Nya: ''Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil haram, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah. Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang zalim. Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapatkan kemenangan. (QS Attaubah [9]:19-20).
Jamaah Haji sebelum berangkat hendaklah melihat orang-orang di sekelilingnya, masih adakah mereka yang menderita kemiskinan di sekitarnya. Kemiskinan yang menimpa sebagian bangsa ini, tampaknya akan berkurang jika setiap jamaah haji menyantuni misalnya dua hingga lima orang, jika jumlah jamaah haji 200 ribu orang maka penduduk miskin akan berkurang minimal 400 ribu jiwa, sebuah jumlah yang sangat besar. Dengan ini jamaah haji akan mendapat dua pahala sekaligus yaitu pahala haji dan pahala menolong sesama. (HRM/Berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar